Let's continue the story...
183 Glendale Park Road, London, England, 2 months later.
"Aduh gawat! Gw terlambat lagi!"
Jane lagi2 bangun terlambat pagi itu. Itu sudah yang kelima kalinya dalam minggu itu. Terlalu asyik terlelap dalam tidur membuatnya jadi lupa kalau keesokan harinya, ia harus bangun pagi karena ada kuliah. Jane pun langsung mempersiapkan semua barang2 yang akan ia bawa untuk kuliah hari itu. Buku2 modul, map, buku tulis, buku gambar, alat tulis, hingga seragam sekolah, semuanya ia persiapkan dengan cepat. Dia sudah tahu apa saja yang akan ia bawa pagi itu, jadi dia hanya tinggal memasukkannya ke dalam tasnya. Jane pun kemudian keluar dari kamarnya, mengambil handuk dan jas mandinya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Selang 20 menit kemudian, Jane keluar dari kamar mandi dengan memakai jas mandinya, kembali ke kamar, berpakaian, make-up, dan lalu keluar dari kamarnya dengan kondisi siap tempur. Jas hitam, rompi hitam, dasi abu2, kemeja putih, rok tartan hitam-abu2, kaus kaki panjang putih yang berkerut di bagian bawahnya, dan sepatu penny loafer warna hitam yang masih mengkilap karena baru disemir malam sebelumnya. Di jasnya terdapat tanda kerajaan yang merupakan logo sekolahnya. Kebetulan sekolah tempat Jane kuliah didanai oleh pihak pemerintah kerajaan, jadi sekolahnya memakai tanda kerajaan khusus yang sudah disahkan oleh pihak kerajaan. Tanpa berdiam diri sebentar, Jane langsung turun lagi ke lantai bawah, ke ruang makan. Di ruang makan, sudah disiapkan sebuah sandwich dan segelas susu. Ibunya sedang ada di dapur, dan ayahnya sedang ada di ruang keluarga, menonton TV sambil membaca majalah Time yang baru ia beli hari sebelumnya. Saat dia ada di ruang makan, Jane melihat jamnya, dan jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih limabelas menit. Itu berarti, dia nggak bisa berlama-lama di ruangan itu. Dia harus segera pergi. Ia hanya meminum susunya hingga habis dan lalu mencari kotak makan untuk menjadi tempat untuk menaruh sandwich-nya. Ia akan membawa sandwich-nya ke dalam mobilnya dan memakannya di dalam mobil. Setelah ia menemukan kotak makannya, ia lalu memasukkan sandwich-nya ke dalam kotak makan dan lalu membawanya. Ia lalu berlari dari ruang makan ke depan rumah, di mana dia mengambil kunci mobil Mini Cooper-nya, dan lalu ia keluar dari rumah sambil berlari. Mobilnya masih ada di garasi, sehingga ia harus masuk dulu ke dalam garasi dan mengeluarkan mobilnya. Beruntung pintu garasinya bisa terbuka dan tertutup dengan otomatis, sehingga Jane nggak butuh waktu yang lama. Jane langsung masuk ke dalam mobil Mini Cooper merahnya, hadiah dari ibunya ketika ia berulang tahun ke-17, dan lalu menjalankan mesinnya. Pintu garasi pun langsung terbuka dengan otomatis ketika Jane menjalankan mesin, karena sambil menjalankan mesinnya, Jane juga menekan tombol untuk membuka pintu garasinya. Setelah pintunya terbuka, Jane langsung oper gigi mundur, melihat ke belakang, dan mobil pun langsung mundur dengan kecepatan sedang hingga ke tengah jalan. Ketika sudah berada di tengah jalan, Jane langsung tancap gas banting setir ke kiri, dan melaju dengan kencang menuju sekolah. Saat dia banting setir, dia sempat sedikit melebar hingga menabrak tong sampah yang ada di dekatnya. Ayah dan ibunya Jane hanya bisa melihat aksi ngebutnya Jane itu dari pintu depan rumah yang memang tidak sempat ditutup oleh Jane, dan mereka hanya bisa memaklumi mengapa Jane melakukan hal itu. Ia sedang dikejar waktu untuk bisa datang ke kampus tepat waktu.
Jane membawa mobilnya dengan sangat kencang. Ia harus tiba di kampus maksimal jam tujuh lewat empat puluh lima menit. Kalau tidak, ia harus ambil surat izin dulu untuk bisa mengikuti kuliah. Sambil mengemudikan mobilnya, Jane memakan sandwich-nya. Ia sudah sering melakukan ini, jadi ia nggak merasa khawatir kalau seandainya sandwich-nya tumpah. Dia sudah menyiapkan sebuah sapu tangan di atas roknya untuk menjaga jangan sampai sandwich-nya jatuh dan mengotori roknya. Setelah sandwich-nya habis, Jane langsung kembali lagi berkonsentrasi mengemudikan mobilnya, dengan gayanya yang setengah gila. Dia ngebut sekencang2nya, berpindah gigi dengan sangat cepat, menggerakkan setirnya dengan sangat cepat, dan matanya fokus ke depan, melihat apa yang terjadi di depannya. Ia sudah seperti seorang pembalap. Ia tahu kapan dia harus ngebut dengan kencang dan tahu kapan ia harus berhati-hati. Ia pelajari itu semua dari ibunya, yang dulu juga punya kebiasaan yang hampir sama dengannya. Hanya saja, dia lebih parah. Dia bisa saja ugal2an di jalan dan pernah kejar2an dengan polisi. Beruntung hingga sekarang, Jane tidak pernah mengalami hal yang seperti itu. Kalau misalnya dia mengalami hal itu, Jane akan sangat panik, karena ia masih belum sehebat ibunya ketika mengebut di jalan raya. Ia masih belajar untuk bisa jadi pengemudi mobil yang gila tapi tahu aturan.
Sampai di pusat kota, Jane masih mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tapi kini Jane harus mulai mengurangi kecepatannya karena sudah banyak mobil yang lalu-lalang. Lalu-lintas di kota London pada hari itu cukup padat. Jane pun kini nggak bisa ngebut lagi... dan makin lama, ia terjebak dalam kemacetan! Jane terjebak kemacetan. Lagi. Dia sudah nggak bisa ngebut lagi, dia sudah nggak bisa menyalip lagi... dan semua jalan sudah tertutup untuknya. She's trapped, and can't go anywhere. Jane lalu melihat jamnya, dan jamnya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh dua menit. Jane pun kini hanya bisa pasrah. Ia terlambat masuk kampus lagi.
London School University, London, England.
Jane tiba di London School pada jam tujuh lewat limapuluh dua menit. Jelas ia sudah terlambat. Setelah dia memarkir mobilnya di dekat perpustakaan sekolah, Jane langsung berlari menuju ke pintu masuk kampus yang saat itu sudah sepi. Semua siswa-siswi di London School sudah masuk ke ruang kuliahnya masing2. Pada hari itu, jadwal kuliah Jane yang pertama adalah studi ekonomi internasional, di ruangan 3.10. Ruangan itu berarti ruangan di lantai tiga nomor sepuluh. Jane pun harus naik tangga ke lantai tiga untuk bisa mencapai tempat kuliahnya. Namun, sebelum dia mencapai tangganya, seseorang datang dan memanggil nama Jane.
"JANE!!!!"
Mendengar itu, Jane pun langsung berhenti. Dia sadar kalau sekarang dia sudah ketahuan. Dia nggak bisa berkutik lagi, karena suara teriakan itu terdengar sangat keras. Selain itu, Jane sudah tahu siapa yang berteriak menyebut namanya. Dia adalah Mrs. Boothroyd, penjaga ruang administrasi sekolah dan juga pengawas piket sekolah. Orang ini selalu keras pada setiap orang yang datang terlambat ke kampus. Jane pun kemudian dengan perlahan menoleh ke belakang, dan melihat sosok Mrs. Boothroyd, yang memakai blazer hitam, dalaman putih, rok panjang di bawah lutut berwarna hitam, dan sepatu berwarna hitam. Jane pun hanya bisa tersenyum melihat Mrs. Boothroyd, dan di dalam hatinya, ia sudah merasa pasrah.
Jane lalu masuk ke ruangan administrasi dan Mrs. Boothroyd memberinya sebuah blanko surat izin yang harus diisi oleh Jane kalau ingin masuk ke ruangan kuliahnya. Ia lalu mengisi kertas itu, dan kemudian memberikannya pada Mrs. Boothroyd. Melihat kertas yang sudah ditulis oleh Jane, Mrs. Boothroyd hanya bisa menandatangani kertas itu dengan wajah sedikit geram. Dia sudah bosan melihat Jane yang belakangan ini sering menjadi pengunjung setia ruangannya. Ia sudah tidak tahu lagi apa yang ingin ia katakan pada Jane. Pada akhirnya, ia memberikan kertas yang sudah ia tandatangani itu pada Jane. Ia diperbolehkan untuk meninggalkan ruangan itu dan masuk ke ruang kuliahnya.
Jane lalu berlari menaiki tangga ke ruang kelasnya, dan sesampainya di depan ruang kelasnya, ia langsung mengetuk pintu dan dosen yang ada di dalam mempersilakannya untuk masuk. Jane lalu masuk ke dalam ruangan dan lalu menaruh kertasnya di meja dosennya. Dosennya lalu memperbolehkan Jane untuk duduk, dan lalu melanjutkan kuliahnya. Kebetulan dia sedang mempersiapkan slide untuk materi barunya. Sebuah laptop Acer Ferrari warna merah sudah ada di atas meja dosen, dengan sebuah slide projector yang terletak di meja sebelahnya. Kabelnya tersambung ke stop kontak yang ada di samping ruangan. Ruangan itu ber-AC, jadi baik laptop-nya atau slide projector-nya sama2 nggak kepanasan. Jane duduk di kursi paling belakang, kursi yang selama ini dia duduki sendiri. Setelah duduk, Jane lalu menaruh tasnya dan mengambil buku modul pelajarannya. Tak lama, materi baru pun mulai diberikan.
Sementara itu, di luar kampus, ketika Jane sedang belajar, datanglah sebuah mobil Mercedes Benz S-Class berwarna hitam memasuki wilayah kampus. Di dalam mobil, ada dua orang pria bertubuh besar yang duduk di depan, yang satu mengemudi, dan yang satunya mendengarkan musik. Di belakangnya, ada seorang gadis yang berambut panjang, sedikit ikal, berwarna hitam, berwajah campuran Inggris-Amerika dengan sedikit bumbu oriental, di rambutnya ada sebuah pita berwarna merah, dan dia memakai kacamata hitam. Dia memakai baju seragam London School, yang sudah ia dapatkan seminggu sebelumnya. Jas dan rompi hitam, dasi abu2, kemeja putih, rok tartan hitam-abu2, kaus kaki panjang putih yang berkerut di ujung bawahnya, dan sepatu penny loafer warna hitam yang masih baru. Dia membawa tas jinjing berwarna hitam dengan tulisan merek sebuah distro di bagian depannya, dan di pergelangan tangan kanannya ada gelang berwarna merah yang selama ini menjadi gelang kesayangannya. Tangan kanannya memegang I-pod dan headset-nya terpasang di kedua telinganya. Sambil ia mendengarkan musik, dia melihat ke arah kampus barunya, lewat jendela mobilnya. Dia duduk di sisi kiri belakang mobil. Hari itu adalah hari pertamanya kuliah di London School. She just moved from far away, a few months ago.
Mobil Mercedes Benz itu kemudian berhenti di sebuah tempat di depan kampus, dan lalu gadis itu keluar dari mobilnya, ditemani oleh salah satu orang yang duduk di depan mobil. Gadis itu melepas kacamatanya, dan lalu melangkah menuju ke dalam gedung. Di sana, sudah ada seseorang yang menyambutnya. London School sudah tahu bahwa akan ada seorang mahasiswi baru yang baru pindah dari sebuah tempat, dan penyambutan pun sudah disiapkan untuk orang ini. Apa penyambutannya ? Hanya sekedar bersalaman dan diantar menuju ke kantor rektor London School, Mr. Drew Pearson alias Mr. Pearson. Orang yang menyambut keduanya itu membawa gadis itu, dan orang yang menemaninya ke kantor Mr. Pearson. Di ruangan itu, Mr. Pearson, yang sudah menunggu kedatangan gadis ini, akan memberi semacam perkenalan tentang sekolah ini pada gadis itu. Setelah itu, ia akan diantar ke tempat di mana ia akan berkuliah. Selama 15 menit Mr. Pearson dan gadis ini bertemu. Mr. Pearson memberikan sebuah buku panduan pada gadis itu, sebagai panduan buatnya selama ia berada di sini. Lumayan untuk membantu proses adaptasinya. Dari ruangan itu, gadis itu diantar menuju ruang kelas tempat ia akan memulai kuliahnya. Si cowok yang menemaninya tadi tidak ikut, karena ia tidak boleh masuk ke dalam wilayah tempat perkuliahan.
Gadis itu diantar ke lantai tiga, tepatnya ke ruangan 3.10, tempat Jane berada. Gadis itu dan orang yang mengantarnya lalu berhenti di depan kelas. Orang itu kemudian mengetuk pintu, dan dosen yang sedang mengajar pun lalu mempersilakannya masuk. Orang itu lalu masuk, dan memberitahukan pada dosen itu sambil berbisik, bahwa akan ada anak baru di kelas ini. Atas perintah dari Mr. Pearson, anak baru itu akan ditempatkan di kelas ini. Dosen itu lalu mengangguk, dan mempersilakan anak baru itu untuk masuk. Orang itu kemudian kembali keluar untuk mengajak anak baru itu masuk, sementara dosennya menaruh buku yang sedang dipegangnya di meja, dan memberitahukan pada semua siswa-siswi yang ada di kelas itu, bahwa akan ada anak baru di kelas ini. Mendengar akan ada anak baru di kelas itu, satu kelas pun langsung heboh. Mereka semua mengira-ngira, siapa anak baru itu. Apakah dia cowok ? Apakah dia cewek ? Kalau dia cowok, apakah dia ganteng atau bagaimana ? Kalau dia cewek, apakah dia cantik atau bagaimana ? Seperti itulah... rasa penasaran anak2 satu kelas ini cukup besar sehingga itu membuat dosennya langsung memanggil si anak baru ini, untuk menjawab rasa penasaran mereka. Dan ketika dia muncul, semuanya langsung terdiam. Yang cowok pada terpana, yang cewek sedikit berpikir bahwa mereka punya saingan baru (maklum, di kelas itu semua cewek2nya cantik2 semua), ada yang berpikir kalau dia itu seperti artis, saking cantiknya dia, atau ada yang berpikir kalau dia ini datang dari tempat tak dikenal, bla bla bla... begitulah. Banyak reaksi yang muncul ketika ada sesuatu yang baru muncul. Dan sekarang adalah saatnya untuk gadis itu memperkenalkan dirinya, untuk menjawab rasa penasaran semua teman2 barunya itu.
"Silakan perkenalkan diri Anda pada teman2 barumu." kata sang dosen.
Gadis itu lalu maju satu langkah ke depan, melihat ke depan, dan lalu memperkenalkan dirinya. Semua mata penghuni kelas itu tertuju pada gadis itu, tak terkecuali Jane.
"Nama saya... Sarah Annemarie Wroughton. Kalian boleh panggil saya Sarah Anna Lee atau Sarah. Saya pindahan dari San Francisco. Senang bisa berkenalan dengan kalian...", kata gadis itu.
Mendengar penjelasan singkat itu, beberapa anak2 satu kelas itu pun langsung berteriak takjub. Tapi ada juga yang menanggapinya dengan biasa saja, tapi pandangannya tetap lurus ke arah Sarah. Sarah pun jadi terdiam sejenak mendengar teriakan itu. Dosen pun kemudian menenangkan kelas, dan tak lama kondisi kelas kembali tenang seperti tadi. Ia lalu mempersilakan Sarah untuk melanjutkan perkenalannya, tapi Sarah merasa kalau perkenalannya sudah cukup. Sarah tidak ingin memperkenalkan dirinya lebih jauh. Dia lebih senang kalau teman2nya yang mencari sendiri seperti apa dirinya. Dosen pun mengerti, dan lalu ia mempersilakan Sarah untuk duduk di kursinya. Kebetulan, kursi yang kosong ada di belakang, di samping kursinya Jane. Sarah pun berjalan menuju kursi itu, dan beberapa orang yang ada di deretan yang dilalui oleh Sarah itu melihat ke arahnya. Sarah sendiri santai2 saja. Sampai di belakang, ia menaruh tasnya, lalu duduk di kursi itu. Ia lalu mengeluarkan buku dan alat tulisnya, dan bersiap untuk mengikuti pelajaran. Tak lama, dosen itu kembali memberikan kuliahnya. Orang yang tadi mengantar Sarah ke kelas itu sudah pergi.
Jane lalu melihat ke arah Sarah, yang sedang serius memperhatikan pelajaran. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang unik dari gadis ini. Dia tidak memperkenalkan dirinya secara blak2an, cenderung diam, dan lebih memilih untuk menyimpan data pribadinya, dan membiarkan teman2nya mencari sendiri seperti apa dirinya. Jane mungkin bisa memaklumi kalau Sarah masih malu2 untuk memberitahukan siapa dirinya, tapi... dia merasa heran ketika dia mempersilakan orang lain untuk mencari sendiri siapa dirinya. Apakah ada rahasia yang disimpan oleh Sarah, atau memang dia hanya sekedar malu2 ? Jane berusaha untuk tidak memikirkannya.
Satu jam kemudian, kelas berakhir. Semua anak2 langsung pergi meninggalkan kelas untuk pergi menuju ke kelas berikutnya. Jane juga sama, ia membereskan semua barang2nya, dan kemudian bersiap untuk pergi. Tapi, ketika dia akan pergi, tiba2 terdengar sebuah panggilan yang jaraknya cukup dekat darinya. Itu berasal dari Sarah.
"Hei, bisakah kamu menolongku ? Sepertinya saya tidak bisa berdiri...", kata Sarah.
Melihat apa yang terjadi pada Sarah, Jane yang sudah berjalan beberapa langkah pun langsung kembali lagi ke mejanya, menaruh tasnya, dan melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan Sarah hingga ia tidak bisa berdiri dari kursinya. Ternyata setelah dilihat, ada permen karet menempel di kursinya, sehingga Sarah yang ingin berdiri, malah nggak bisa karena roknya tertempel permen karet. Sarah memang tidak tahu kalau ada permen karet di kursi itu. Ia hanya langsung duduk dan tidak merasakan apa2, sampai akhirnya ketika pelajaran berakhir, dia tidak bisa berdiri, karena permen karet itu sudah menempel di roknya. Jane sadar kalau teman barunya ini sedang ada masalah, jadi ia memutuskan untuk membantunya.
"Kamu tahu apa yang membuatku nggak bisa berdiri ?", tanya Sarah.
"Well, maaf kalau aku harus katakan ini tapi saya harus katakan bahwa ada permen karet menempel di rokmu...", kata Jane.
"What ? Permen karet ? Di rokku ? Oh no... rokku masih baru...", kata Sarah sedikit mengeluh.
"Mungkin saat kamu pulang nanti kamu harus mencuci rokmu..."
"Ya, aku tahu itu... tapi bagaimana kalau semua orang yang ada di sekolah ini melihatku ? Mereka pasti akan menertawakanku..."
"Cuek aja... pura2 nggak tahu... gampang kan ?"
"Ya, tapi aku kadang2 merasa nggak tahan ditertawakan. Aku kan masih baru disini..."
"Ya sudah, nanti kita lihat kondisinya. Sekarang yang terpenting, kamu harus lepas dari kursi ini dulu..."
"Oke... aku harap kamu bisa membantuku. Aku nggak mau terduduk di kursi ini terus2an!"
"Baiklah, sekarang kamu diam dulu, aku akan coba melepaskanmu dari sini."
Jane lalu berusaha untuk memikirkan seperti apa cara yang akan digunakan untuk melepaskan temannya ini dari kursi jebakan itu. Bingung juga bagaimana cara melepaskan seseorang dari sebuah kursi yang ditempeli permen karet tanpa harus merusak kain celana yang tertempel permen karet itu. Apalagi ini kan rok baru, sayang kalau misalnya rok ini harus langsung rusak di hari pertamanya dipakai. Setelah lama berpikir, Jane pun mempunyai ide. Dia mengambil sebuah penggaris besi yang ada di dalam tasnya, dan lalu memasukkan penggaris itu ke sela2 antara rok Sarah dan kursinya. Jane lalu memotong permen karet itu dengan menggunakan penggaris besi itu. Karena permen karet tempel itu sangat lunak, maka dia bisa langsung terlepas ketika dipotong oleh penggaris besi itu. Sarah jelas merasa heran melihat idenya Jane ini, dia bahkan merasa kalau idenya itu sangat aneh, apalagi sampai harus memasukkan penggaris besi ke dalam sela2 kursinya. Tapi dia berusaha untuk diam saja dan tidak panik, karena dia tahu, temannya ini pasti akan membantunya dan sangat berterimakasih padanya. Ternyata ide Jane berhasil. Sarah berhasil terlepas dari permen karet yang menempel di roknya. Sarah pun bisa berdiri dari kursinya. Ia pun langsung senang sekali dan berterimakasih padanya.
"Wow... thanks a lot! Sekarang aku bisa lepas dari kursi ini! Akhirnyaaaaaa...", kata Sarah.
"Sama2... setidaknya biarpun ideku aneh, tapi membantu kan ?", kata Jane.
"Ya... sangat membantu. Hei, apakah kita sudah berkenalan sebelumnya ? Aku Sarah Annemarie Wroughton. Kamu bisa panggil aku Sarah Anna Lee, atau Sarah. What's your name ?", kata Sarah sambil mengajak Jane untuk berjabatan tangan.
"Aku Jane. Jane Schelley. Bukankah tadi kamu sudah memperkenalkan dirimu pada seluruh kelas ?", kata Jane sambil membalas jabatan tangan Sarah.
"Yah, siapa tahu kamu tidak mendengarkan tadi...", kata Sarah.
"Hahahaha... aku tadi mendengarkan kok... tapi masih belum terlalu jelas juga sih..."
"Nggak apa2 kok... mungkin perkenalan gw terlalu cepat. Oh, ya. Kelas berikutnya di ruang mana sih ?"
"Ummm... kalau nggak salah di lantai empat. Mau kuantar ke sana ? Siapa tahu aku bisa kenalkan kamu dengan teman2 yang ada di sini..."
"Wah, ide bagus tuh... oke deh, aku ikut..."
"Kalau begitu, ayo! Kita sudah hampir terlambat untuk kelas berikutnya."
Jane dan Sarah lalu pergi meninggalkan ruang kelas itu dan melanjutkan kegiatan kuliah mereka hari itu dengan pindah ke ruang kuliah lain. Mereka langsung terlihat akrab, Jane memperkenalkan semua isi London School pada Sarah, dan membantu Sarah untuk bisa bersosialisasi di kampus itu. Dalam waktu beberapa hari, Jane dan Sarah mulai saling dekat, mereka selalu duduk bersebelahan saat kuliah berlangsung, makan siang bersama di kantin, membaca buku bersama di perpustakaan sekolah, dan bergosip ria, saling bercanda, serta saling curhat2an di saat waktu istirahat. Lambat laun, mereka mulai berteman, dan ini menjadi awal dari persahabatan mereka yang sangat erat dan tak terpisahkan diantara keduanya.
Segini dulu ceritanya untuk bagian kedua. Di bagian ketiga nanti, keluarga Sarah akan menggelar pesta, dan semua tetangganya diundang, termasuk keluarga Jane. Inilah perkenalan Jane dengan keluarga Sarah, yang kemudian akan mengantarkannya pada pertemuannya dengan Randy Wroughton, kakak tertua Sarah, yang kelak akan menjadi pacarnya. Seperti apa awal pertemuan Jane Schelley dengan keluarga Wroughton ? Tunggu bagian berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar